Saya nggak bisa mengerjakan, nggak bisa mikir bu, sulit sulit sekali
soalnya,…
Saya mau keluar saja bu, saya mau kerja saja, lha bapak
sudah ndak bisa biayai saya lagi,…
Bu, saya mau pindah saja, saya nggak bisa belajar kalau di kelas ini,
….
Orang tua saya bercerai bu, saya bingung harus gimana, mau
belajar nggak bisa konsentrasi….
Rasanya saya mau mati saja, saya nggak mau diputusin….
Saya nggakmau sekolah, sebelum saya diberikan motor baru….
Bagaimana bisa saya belajar, tiap malam saya harus kerja, di
penjual mie goreng perempatan itu….
Kalimat-kalimat di atas merupakan sebagian kecil dari sekian banyak yang pernah saya temui di kelas. Saat anak didik saya mengalami masalah yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan saat mereka belajar. Sebagian guru mungkin pernah terbersit dalam benaknya, “andai saja separuh anak didikku itu adalah anak yang manis-manis, tak bermasalah, rajin dan segala hal yang baik-baik ada padanya, tentunya segala teori-teori tentang pembelajaran maupun penilaian akan bisa dilaksanakan dengan ideal”. Tak usahlah kita berandai-andai mengharapkan hal yang muluk-muluk, sebab hal itu tidak ada gunanya dan malah akan menguras energi kita, kita hadapi saja realitanya, nyatanya sebagian besar anak didik kita tidak sesuai dengan harapan-harapan yang ideal. Jika anak didik kita sebanyak 25 anak, akan ada 25 atau bahkan lebih permasalahan-permasalahan yang mereka bawa ke sekolah, dan sebagai pendidik kita harus bisa menyikapi masalah-masalah tersebut.
Sebagai salah satu pengajar, menurut saya anak seusia SMP/SMA itu unik, labil (mudah berubah), dinamis (suka berkembang), suka meniru, mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, penuh semangat dan tantangan. Pada usia yang lebih sering disebut dengan masa remaja, lebih tepatnya masa remaja pertengahan ini terjadi peralihan dari masa kanak-kanak dan masa dewasa. Pada masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan baik secara fisik maupun psikis. Mereka bukan lagi anak-anak baik badan maupun cara berpikir atau cara bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Menurut Steinberg (dalam Santrock, 2002: 42) masa remaja adalah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealisme dan penalaran logis, perubahan social yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua dan harapan-harapan yang dilanggar oleh pihak orang tua dan remaja.
Sebagai pendidik, salah satu kompetensi yang harus dimiliki adalah mengenali karakteristik peserta didik. Kita tidak bisa “nggebyah uyah” menganggap semua peserta didik kita sama, masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Permasalahan yang mereka bawa ke sekolahpun juga berbeda-beda. Misalnya saja si A anak yang pandai berasal dari keluarga kurang mampu, terbiasa bekerja keras akan berbeda dengan si B anak yang pandai berasal dari keluarga mampu dan tidak terbiasa bekerja keras. Si C yang lebih suka belajar dengan mendengarkan music akan berbeda dengan si D yang lebih nyaman belajar dalam keheningan.
Untuk mengetahui bagaimana karakteristik peserta didik tersebut guru harus lebih banyak berinteraksi dan berkomunikasi baik saat pembelajaran maupun diluar jam belajar. Selain sebagai teman belajar (pendidik) guru juga harus bisa menempatkan diri sebagai teman bicara, anak muda bilang “teman curhat” atau bahkan mungkin bila sangat emergency bisa berperan sebagai psikolog ataupun dokter jiwa.
Pada usia remaja, anak merasa lebih nyaman menceritakan permasalahan-permasalahannya kepada temannya dari pada kepada ke kedua orang tuanya, apalagi pada zaman sekarang kebanyakan orang tua lebih banyak disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin banyak. Oleh sebab itu sebagai guru kita harus bisa menjadi teman yang baik dengan menciptakan interaksi social yang baik dalam kelas, mulai dari menyapa, menanyakan kabar mereka, memberikan perhatian yang lebih pada anak-anak yang membutuhkan. Bersikap menyenangkan, baik, ramah, dan penuh perhatian.
Bertingkah laku dan prososial, jujur, murah hati dan mau bekerja sama. Menghargai diri sendiri dan menghargai setiap jerih payah mereka dan jangan pelit-pelit memberikan pujian. Menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, nasehat, dukungan sosial, kalau perlu jadi dokter jiwa jika kita bisa.
Oleh : Ulfa Nimatil Hasanah, S.Pd. (www.kompasiana.com)
0 komentar:
Posting Komentar